Hybrid Policing Dalam Upaya Harkamtibmas di Era Disrupsi

0
1301

HYBRID POLICING DALAM UPAYA HARKAMTIBMAS DI ERA DISRUPSI

Disrupsi Informasi
Peradaban manusia kini telah sampai pada era revolusi industri 4.0 dan masyarakat society 5.0. Revolusi industri 4.0 dimulai dengan adanya robot yang terkoneksi dengan sistem komputer dilengkapi machine learning algorithms yang dapat belajar dan mengontrol robot sendiri tanpa input dari human operator yang kemudian dikenal dengan artificial inteligence (AI). Kemudian AI dihubungkan dengan internet based society. Menurut Scawab (2016) Era Industri 4.0 ditandai dengan terjadinya digitalisasi dan pemanfaatan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) secara massif di berbagai sektor kehidupan manusia.

Kehadiran teknologi digital dengan adanya cyber space telah membawa berbagai inovasi baru dalam kehidupan manusia. Berubahnya pola kehidupan masyarakat menjadi serba digital berlangsung dengan sangat cepat dan telah mendisrupsi berbagai aspek kehidupan manusia. Masyarakat Indonesia banyak menggunakan cyber space dalam melaksanakan aktivitas keseharainnya baik berupa media sosial maupun media online sehingga Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Menurut laporan We Are Social, terdapat 204,7 juta pengguna internet di Tanah Air per Januari 2022. Jumlah tersebut naik 1,03% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara tingkat literasi masyarakat tidak mampu sepenuhnya mengimbangi perubahan tersebut. Terdapat kesenjangan yang sangat tinggi di masyarakat dalam kemampuan penggunaan media sosial dan media online serta tingkat analisis terhadap informasi atau konten yang menyebar. Disrupsi informasi kemudian terjadi dengan menyebarnya misinformasi dan disinformasi yang telah menimbulkan permasalahan baru dalam kehidupan masyarakat yang berujung pada terjadinya gangguan kamtibmas.

Cyber Crime di Indonesia
Disrupsi teknologi telah membawa dampak negatif terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Dimana para pelaku kejahatan melakukan aksinya dengan menggunakan teknologi yang kemudian disebut sebagai cyber crime. Menurut Parker dalam Hamzah (1993:18), cyber crime adalah suatu tindakan atau kejadian yang berkaitan dengan teknologi komputer. Dimana seseorang mendapatkan keuntungan dengan merugikan pihak lain.

Target pelaku cyber crime adalah device atau hardware atau software atau juga data personal dari korban. Sifat dari cybercrime ini adalah baik pelaku maupun korbannya sama-sama invisible atau tidak terlihat, hal ini yang membuat cybercrime memiliki kompleksitas sendiri. Adapun keuntungan pelaku cybercrime adalah memungkinkan anonimitas kemudian ketika pelaku melaksanakan kejahatan diruang cyber ada jeda waktu yang memungkinkan pelaku lebih leluasa untuk menghilangkan barang bukti agar mengecoh dan mencegah respon dari upaya-upaya yang dilakukan oleh penegak hukum.

Kasus cyber crime di Indonesia mengalami peningkatan, sebanyak 6.388 kasus sejak tahun 2019 hingga 22 Mei 2020. Kejahatan tersebut paling banyak berupa penyebaran konten provokatif yakni 2.584 laporan. Sementara, kejahatan kedua paling banyak diterima oleh patroli siber yakni penipuan online, 2.147 kasus. Kejahatan berupa pornografi juga kerap dilakukan secara digital yakni 536 kasus. Pada periode Januari hingga September 2021 Berdasarkan situspatrolisiber.id, terdapat 15.152 aduan cyber crime yang dilaporkan melalui portal Patrolisiber dengan total kerugian mencapai 3,88 triliun. Tercatat, konten tentang penipuan paling banyak dilaporkan yakni 4.601 kasus.

Selain penipuan, banyak di antara masyarakat yang melaporkan konten soal pengancaman dan penghinaan. Jumlah laporannya masing-masing tercatat sebanyak 3.101 kasus. Kemudian, ada juga kejahatan siber berupa konten soal pemerasan, yaitu sebanyak 1.606 kasus yang dilaporkan.  Kemudian sebanyak 360 kasus berupa konten tentang hoaks dan 333 kasus konten pornografi. Selain itu, masyarakat juga melaporkan kejahatan siber lainnya seperti pemalsuan surat dokumen, provokasi/penghasutan, penistaan Agama, prostitusi, dan sebagainya.

Tantangan Tugas Polri
Disrupsi informasi berupa konten provokatf di media sosial yang bersifat misinformasi maupun disinformasi telah menyebabkan terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun 2022 konflik sosial yang terjadi di Indonesia akibat disrupsi informasi di media sosial selama tahun 2019 sampai 2021 didominasi oleh konflik antar warga, disusul konflik antar desa/kelurahan, konflik antar pelajar, dan konflik SARA. Dimana konflik tersebut apabila dikalkulasikan selama tiga tahun terakhir berjumlah 8.200 konflik, terdiri dari 2.420 konflik pada tahun 2019, 2.761 konflik pada tahun 2020 dan 3.019 konflik pada tahun 2021.

Dampak dari disrupsi teknologi dan disrupsi informasi yang telah mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat kembali menjadi kewenangan Polri untuk menanggulanginya. Sebagaimana diamanahkan dalam Undang-undang atau UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 13 tugas pokok Polri adalah: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Polri telah memiliki sumber daya manusia untuk melaksanakan tugas pokoknya dalam pemeliharaan kamtibmas. Sebagian anggota Polri melakukan kegiatan kepolisian secara khusus di dunia maya. Namun jumlahnya yang sangat terbatas menjadikan kegiatan kepolisian di dunia maya kurang efektf dalam melindungi masyarakat dari cyber crime dan menanggulangi konflik akibat adanya disrupsi informasi.

Sehingga diperlukan pola pemolisian yang efektif untuk dapat tampil Presisi sebagaimana jargon yang diusung Kapolri berupa “Transformasi Menuju Polri yang Presisi” dengan mengedepankan pemolisian prediktif. Sehingga langkah antisipatif ataupun crime prevention menjadi hal yang perlu diutamakan dalam melaksanakan tindakan kepolisian. Langkah crime prevention yang selama ini telah dilaksanakan Polri dilakukan melalui kegiatan preemtif dan preventif. Salah satu pendekatan pemolisian yang dilaksanakan adalah community policing dimana polisi menjalin kemitraan dengan masyarakat untuk memelihara kamtibmas melalui langkah identifikasi dan problem solving permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat dan berdampak pada gangguan kamtibmas.

Hybrid Policing
Melihat perkembangan yang terjadi di era disrupsi, diperlukan alternatif pemolisian berupa hybrid policing dimana setiap anggota Polri diberikan tugas untuk melakukan pemolisian secara konvensional di tengah masyarakat dan di dunia maya. Dengan demikian upaya preemtif, preventif dan represif dapat dilakukan lebih intensif dan efektif. Peningkatan intensitas kehadiran anggota polisi di dunia maya yang melakukan kegiatan pemolisian diharapkan mampu memiimalisir terjadinya cyber crime ataupun konflik yang disebabkan oleh misinformais dan disinformasi. Sehingga masivnya perkembangan teknologi informasi dapat dinikmati oleh masyarakat dengan rasa aman dan mampu meningkatkan kesejahteraan hidunya.

Guna mengimplementasikan hybrid policing diperlukan upaya maksimal dan peran instansi terkait, stakeholder serta masyarakat yang merupakan pilar kamtibmas di dunia maya diantaranya: (1) Perumusan kebijakan terkait penerapan hybrid policing dalam bentuk regulasi yang menambah kewenangan Polri dalam melakukan pemolisian di dunia maya, (2) Sinergi stakeholder keamanan siber yang tergabung dalam BSSN untuk mendukung perlindungan terhadap para pengguna internet dari serangan siber, (3) Peran para jurnalis, konten kreator dna influencer untuk bersinergi dalam meningkatkan literasi masyarakat, (4) Peran serta masyarakat media dalam menjadi mitra polisi di media dengan memberikan informasi dan meningkatkan proteksi diri dari gangguan cyber crime serta membentuk komunitas “Cerdas Bermedia”.

Peran masing-masing lembaga dan instansi, stakeholder dan masyarakat media menjadi faktor utama yang dapat menentukan keberhasilan hybrid policing dalam mereduksi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang timbul akibat disrupsi teknologi dan disrupsi informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 1993, Hukum Acara Pidana Indonesia, Arikha Media Cipta, Jakarta
Adi Hadiat. 2022. Ada 204,7 Juta Pengguna Internet di Indonesia Awal 2022. (online) https://databoks.katadata.co.id /datapublish/2022/03/23/ada-2047-juta-pengguna internet-di-indonesia-awal-2022.
Anonim. 2020. Jenis Kejahatan Siber di Indonesia (online) https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/jenis-kejahatan-siber-di-indonesia-2019-2020-1590136655.
Anonim. 2021. Kerugian Akibat Kejahatan Siber. (online) https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/10/07/kerugian-akibat-kejahatan-siber-capai-rp-388-triliun-apa-saja-bentuknya.
Schwab, Klaus. (2016). The Global Competitiveness Report 2016- 2017. Geneva: World Economic Forum.

 

Salam Presisi

Budi Setiawan,S.I.k., M.I.K

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.