Laka Lantas Dan Upaya Pengawasan Berkala Bagi Pemilik SIM

0
1411

LAKA LANTAS DAN UPAYA PENGAWASAN BERKALA BAGI PEMILIKI SIM
Oleh: Kompol. Budi Setiawan, S.IK., M.IK

A. Pendahuluan

Sistem transportasi merupakan suatu hal yang penting bagi suatu kota. Masalah pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengguna jalan berdampak kecelakaan dan kemacetan lalu lintas. Polisi telah melaksanakan berbagai upaya, baik bersifat preventif dan represif serta cara pre-emtif (persuasif edukatif) melalui program program seperti polisi sahabat anak, dan berbagai program lainnya.

Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap aturan lalu lintas, berpotensi memunculkan permasalahan baik antar pengguna jalan itu sendiri maupun antar pengguna jalan dengan aparat yang bertugas untuk melaksanakan penegakan hukum di jalan. Upaya represif dengan tilang dalam menegakkan peraturan perundang-undangan dan upaya untuk meningkatkan disiplin masyarakat pemakai atau pengguna jalan terasa belum efektif sampai saat ini, sehingga angka pelanggaran lalu lintas masih dinilai sangat tinggi.
Pelanggaran lalu lintas adalah masalah penyebab sebagian besar kecelakaan lalu lintas. Terutama karena faktor manusia pengguna jalan yang tidak patuh terhadap peraturan lalu lintas. Namun dapat juga ditemukan penyebab di luar faktor manusia seperti faktor kendaraan seperti ban pecah, rem blong atau faktor lingkungan seperti jalan berlubang, bahkan cuaca dan lain-lain. Demikian juga masalah kemacetan lalu lintas, data menunjukkan bahwa kemacetan itu diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh pemakai atau pengguna jalan. Adapun faktor lain yang menjadi penyebab kemacetan selain pelanggaran lalu lintas seperti kondisi jalan, dan infrastruktur jalan yang kurang memadai.
Pada prinsipnya, setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. Fungsi dari penerbitan SIM adalah sebagai tanda bukti kompetensi bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengemudikan kendaraan bermotor di jalan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan berdasarkan Undang Undang no.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat dikatakan bahwa tanggung jawab atas kecelakaan kendaraan bermotor adalah pada pengemudinya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah, bagaimanakah langkah untuk menekan kecelakaan lalu lintas (laka lantas) yang si sebabkan oleh kesalahan manusia (Human Error) ?

C. Metode Penulisan
Tulisan ini bersifat deskriptif dengan pedekatan studi kepustakaan (Library Reasearch), dengan cara mengiventarisir berbagai bahan pustaka utama dan pendukung yang berkaitan dengan fokus permasalahan untuk memperoleh gambaran yang bersifat umum dan relatif menyeluruh, tentang cara atau metode menekankan kecelakaan lalu lintas (laka lantas). Dengan dilakukannya cara ini, selain diperoleh berbagai informasi yang diperlukan, penulis juga mendapatkan pengetahuan tingkat permukaan, tentang berbagai bagian dari fokus permasalahan tertentu.

D. Hasil dan Pembahasan
Lalu lintas ditimbulkan oleh adanya pergerakan dari alat-alat angkutan, karena adanya kebutuhan perpindahan manusia dan atau barang. Karena itu, dampak yang tidak mungkin ditolak karena adanya pergerakan tersebut adalah terjadinya kecelakaan. Kecelakaan dapat disebabkan oleh faktor pemakai jalan (pengemudi dan pejalan kaki), faktor kendaraan dan faktor lingkungan (Pignataro, 1973). Pignataro juga menyatakan bahwa kecelakaan diakibatkan oleh kombinasi dari beberapa faktor perilaku buruk dari pengemudi ataupun pejalan kaki, jalan, kendaraan, pengemudi ataupun pejalan kaki, cuaca buruk ataupun pandangan yang buruk. Hobbs (1979) mengelompokkan faktor-faktor penyebab kecelakaan menjadi tiga kelompok, yaitu : faktor pemakai jalan (manusia), faktor kendaraan, faktor jalan dan lingkungan.
Dengan demikian, terdapat tiga faktor yang dapat menyebabkan tingginya angka kecelakaan lalu lintas, diantaranya adalah: Pertama, dan yang paling banyak menjadi faktor penyebab adalah faktor pengendara atau diri kita sendiri. Banyak kasus kecelakaan akibat pengendara yang ugal-ugalan dijalan, ada juga pengendara yang mengendarai dalam kondisi mengantuk, kurang fit, dan lain sebagainya. Kedua, faktor jalan, dibeberapa daerah masih banyak ditemukan jalan dengan kondisi rusak, berlubang, tidak rata, ataupun terlalu sempit sehingga menyebabkan jala mempunyai resiko kecelakaan tinggi. Ketiga, adalah faktor kendaraan. Kaca spion yang tidak dipasang lengkap, padahal kaca spion tersebut dibuat untuk mempermudah kita melihat kendaraan yang berada dbelakang kita. Kemudian knalpot yang diganti tidak standart akan membuat bising pengendara lainnya.
Menurut (Barnadib, 1986), Valsiener dan Achir (dalam Saksono,1994) bahwa aspek-aspek mengenai disiplin berlalu lintas meliputi: sikap mental, pemahaman, penyesuaian diri dan tanggung jawab. Konformitas bisa menjadi bentuk negatif ataupun postif dalam disiplin berlalu lintas. Konformitas adalah seseorang menampilkan perilaku tertentu karena disebabkan oleh karena orang lain menampilkan perilaku tersebut (Sears, 1994). Konformitas merupakan suatu jenis pengantar sosial individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada ( Baron & Byne, 2005). Tekanan melakukan konformitas berakar dari kenyataan bahwa diberbagai konteks ada aturan-aturan eksplisit ataupun tidak terucap yang mengindikasikan bagaimana manusia seharusnya atau sebaiknya bertingkah laku. Pendapat lain mendefinisikan konformitas sebagai perubahan prilaku seseorang karena pengaruh dari orang lain (Aronson, 2007).
Ada dua alasan utama mengapa orang melakukan konformitas. Pertama, perilaku orang lain memberikan informasi yang bermanfaat. Kedua, individu melakukan konformitas karena ingin diterima secara sosial dan menghindari celaan (Sears, 1994). Demikian juga menurut Sarwono (2001) yang mengatakan kesesuaian antara perilaku seseorang dengan perilaku orang lain yang didorong oleh keinginannya sendiri. Konformitas terjadi dari kesamaan antara perilaku individu dengan perilaku orang lain atau perilaku individu dengan norma lingkungan sosial. Dalam hal ini, individu yang mampu untuk bertahan dalam tekanan di dalam kelompoknya mereka akan cenderung untuk bisa menolak apa yang diinginkan dalam kelompoknya. Di dalam proses sosial tersebut seseorang akan terpengaruhi oleh individu, kelompok maupun organisasi masyarakat. Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja. Konformitas terhadap tekanan sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif (Camamera, 1991; Foster-Clark & Blyth, 1991; Bryan & Herzog, 1990; Wall, 1993).
Berbagai penelitian telah menghubungkan perilaku berkendara dengan karakteristik demografi seperti jenis kelamin, usia, dan pengalaman mengemudi (misalnya Francis, West, Elander, & Wilding, 1993; Stradling, 2000; Adhi & Santoso, 2009). Namun belum banyak penelitian yang mengukur hubungan antara variabel potensial seperti motivasi atau sikap dalam berlalu lintas dengan perilaku berkendara, khususnya di lndonesia.
Salah satu dari antara yang sedikit adalah penelitian perilaku berkendara yang dilakukan oleh Santoso dan Maulani (2009) di tiga kota besar Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya dan Bandung. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengemudi di kota-kota tersebut memiliki sikap yang cukup positif terhadap aturan lalu lintas dan bahwa perilaku mereka dalam mengemudi cukup aman. Santoso dan Maulani (2009) juga menyimpulkan bahwa perilaku mengemudi lebih dipengaruhi oleh sikap berlalu lintas daripada pengetahuan tentang peraturan berlalu lintas. Hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh Lieb dan Wiseman (2001) bahwa keselamatan berlalu lintas dipengaruhi oleh sikap para pengguna jalan terhadap aturan lalu-lintas, sehingga mengetahui ‘sikap pengendara merupakan aspek penting dalam kajian psikologi lalu lintas. Pada penelitian yang lain sikap terbukti tidak berkorelasi dengan intensi dan perilaku tampak. Inilah yang dinamakan sikap ambivalen (Baron & Byrne, 2007).
Dengan menggunakan Theory of Reasond Action atau TRA (Fishben & Ajzen, 1980), yang kemudian disempurnakan dalam Theory Planned Behaviour atau TPB (Ajzen, 1985,1991 ) diharapkan mampu memahami perilaku berkendara secara baik. Teori ini dinilai tepat dalam menjelaskan pengaruh sikap dan motivasi dalam perilaku berkendara. Teori ini mengatakan bahwa intensi (niatan) dan penilaian adanya kontrol perilaku (perceived behavioral control) merupakan faktor-faktor penentu perilaku. Dapat diprediksikan bahwa keyakinan terhadap norma kelompok dan keyakinan terhadap kontrol orang lain pada perilaku individu akan mempengaruhi sikap dan perilaku berkendara. Intensi mencerminkan representasi kognitif pada kesiapan individu untuk melakukan tindakan tertentu (Ajzen, 1991).
Godin, Conner, dan Sheeran (2005) menyatakan bahwa sebagian besar studi yang menunjukkan dampak dari norma-norma moral pada intensi (niatan) tidak menunjukkan dampak serupa pada perilaku. Pengakuan sikap yang baik pada aturan lalu-lintas merupakan bentuk dari social desirability, karena jika tidak maka ada tekanan tersendiri pada individu. Dengan demikian perbedaan norma kelompok akan mempengaruhi perbedaan perilaku anggotanya. Dengan kata lain norma moral kelompok komunitas sangat berpengaruh.

Pengawasan Berkala: Sebuah Tawaran
Ketidakdisiplinan masyarakat pengguna jalan mencerminkan masih rendahnya antusias masyarakat untuk mematuhi peraturan berlalu lintas. Sementara disiplin berlalu-lintas tidak hanya semata-mata untuk kepentingan pihak kepolisian sebagai pelaksana penegak hukum, akan tetapi dalam penerapannya, tata tertib berlalu lintas dibuat untuk memenuhi kebutuhan dari masyarakat itu sendiri baik pengguna jalan maupun masyarakat yang di sekeliling ruas jalan agar terciptanya kehidupan yang aman dan tentram.
Dalam berlalu lintas, sering dijumpai masyarakat yang sudah mengetahui peraturan tetapi tidak melaksanakannya. Fenomena tersebut disebabkan adanya anggapan dari sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa disiplin berlalu lintas tidak akan membawa keuntungan kepada masyarakat melainkan akan memperlambat aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Ketidakpedulian sebahagian masyarakat tersebut menjadikan proses kegiatan berlalu lintas tidak terlaksana dengan tertib.
Oleh karenya pada tulisan ini penulis menawarkan pengwasan berkala pada pemilik SIM. Dinataranya melaui upaya:
Pertama, Pre-Emtif, adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran/kejahatan tetapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut, maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam upaya ini faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan.
Kedua, upaya Preventif (Pencegahan). Upaya-upaya preventif merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih ada tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk melakukan kejahatan. Dengan kata lain, upaya preventif (pencegahan) dimaksudkan sebagai usaha untuk mengadakan perubahan-perubahan yang bersifat positif terhadap kemungkinan terjadinya gangguan-gangguan di dalam masyarakat, sehingga tercipta stabilitas hukum. Tindakan ini merupakan upaya yang lebih baik dari upaya setelah terjadinya suatu tindak pidana. Mencegah kejahatan adalah lebih baik dari pada mencoba mendidik penjahat menjadi lebih baik. Dalam hal ini penulis menwarkan sebuah tawaran solusi dengan memakai istilah pengawasan berkala bagi pemiliki SIM yaitu melalui:
1. Fisik. Pada tataran ini pemilik SIM melaporkan kepada Sat Lantas terdekat secaraberkala minimal satu kali dalam satu tahun, bahwa yang bersangkutan secara fisik masih memiliki kompetensi sebagai pengendara kenderaan bermotor.
2. Psikis. Dari berbagai literature di atas dapat kita pahami bahwa human error menjadi penyebab yang terbesar terjadi sebuah kecelakaan,oleh karenanya psikis para pengendara kendraan bermotor juga harus dilakukan pengawasannya secara berkala dengan pendampingan psikolog minimal satu kali dalam satu tahun.
3. Kesahatan. Karena persyaratan untuk pengendara kenderaan bermotor adalah kesehatan, maka bagi pemilik SIM yang tidak dalam keadaan sehat maka tidak dizinkan untuk berkendaraan. Pengawasan ini mestinya senantiasa dilakukan minimal 2 kali dalam satu tahun.
Ketiga model pengawasan berkala tersebut sebagai upaya untuk menurunkan kecelakaan lalu lintas. Ketika pengendara kenderaan bermotor tersebut secara fisisk, Psikis dan Kesehatannya prima, maka laka lantas diyakini akan berkurang hal ini sangat didukung oleh teori yang telah penulis sampaikan di atas.

E. Penutup
Pada prinsipnya, setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan (Pasal 77 ayat [1] UULLAJ). Fungsi dari penerbitan SIM adalah sebagai tanda bukti kompetensi bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengemudikan kendaraan bermotor di jalan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan berdasarkan UULLAJ (Pasal 1 angka 4 Perkapolri No. 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi).
Oleh karenanya, Ketiga model pengawasan berkala tersebut sebagai upaya untuk menurunkan kecelakaan lalu lintas. Ketika pengendara kenderaan bermotor tersebut secara fisisk, Psikis dan Keseahatannya prima, maka laka lantas diyakini akan berkurang. Keselamatan dan kelancaran lalu lintas merupakan tanggung jawab bersama. Mari disiplin berlalulintas untuk keselamatan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Hobbs, 1979. Perencanaan dan Teknik Lalu Lintas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Pignataro, L. J. 1973. Traffic Engineering Theory and Practice, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs. New Jersey.

Barnadib, Imam. 1986. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.

Sarwono, S. W. 2004. Psikologi remaja. Edisi revisi 8. Jakarta : Raja Grafindo Pustaka, 2004.

Sears, D.O., Feedman, J.L, & Peplau, L.A. 1994. Psikologi Sosial. Edisi Keduabelas. Jakarta: Kencana.

Saksono. 1994. Polisi dan Lalu Lintas. Bandung. Mandar Maju.

Ajzen, l. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behaviour and Human Decision Processes.

Ajzen, l. (1985). From intentions to action: Atheory of planned behavior. In J. Kuhl & J. Beckman (Eds.), Action control: From cognitions to behaviors (pp. 11-39). New York: Springer.

Lieb, R., a. Wiseman, F. (2001). Public attitudes toward automobile safety issues.Transportation Jounal.

Santoso, G.A., & Maulani, D. (2009). Perilaku berlalu lintas di kota besar: Bandung, Jakarta dan Surabaya. The Role of Psychology ln Indonesian Contemporary Society (p. 12). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Baron, R., & Byrne, D. (2007). Psikologi sosial. Jakarta: Erlangga

Lukman Hakim dan Fathul Lubabin Nuqul, Analisa Sikap Terhadap Aturan Lalu-Lintas Pada Komunitas Bermotor, Jurnal Psikologi Indonesia 2011, Vol. VIII, No. 2, 93-103,

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.